Selasa, 04 Agustus 2020

Cerita Stempel Zaman Hindia Belanda dan Kaitannya dengan Berdirinya Pondok Pesantren Nurul Iman dan Perguruan As'ad



Konon benda ini adalah sebuah stempel, bentuknya mirip dengan koin Ratu Wihelmina 1/2 Gulden tahun 1912. Namun di bagian belakangnya ada semacam gagang dari besi yg memperkuat bahwa benda ini berfungsi sebagai stempel bukan mata uang koin zaman Hindia Belanda.

Stempel ini diberikan Nyai (baca : nenek) yang bernama Hj. Zainab kepada menantunya Hj. Saadah sebagai kenang-kenangan. Menurut penuturan Nyai, ayahnya KH. Abdul Majid Jambi mengajar di Mekkah (dalam riwayat yg lain, beliau mengajar di serambi masjidil Haram). Dan setiap akan mengambil gaji atau pensiun selalu menggunakan stempel itu.

Langgar Putih

Cerita tersebut ternyata berkaitan dengan sejarah berdirinya dua pondok pesantren di Seberang Kota Jambi yaitu pesantren Nurul Iman di Kelurahan Ulu Gedong dan Perguruan As'ad di Kelurahan Olak Kemang. Cikal bakal kedua pesantren ini adalah sebuah langgar di Kelurahan Ulu Gedong yang disebut Langgar Putih. Pendiri langgar putih adalah KH. Khotib Mas'ud tahun 1868 yang merupakan paman sekaligus ayah angkat KH. Abdul Majid Jambi.

Setelah KH. Khotib Mas'ud wafat pada tahun 1889, pengajian di Langgar Putih dilanjutkan oleh KH. Abdul Majid Jambi, yang notabene seangkatan dengan Syekh Ahmad Khotib Al Minangkabawi (ulama Sumatera Barat) dan Syekh Ali Al-Banjari ketika belajar di Mekkah. Mereka belajar kepada Sayid Abu Bakar bin Muhammad as-Syatha’ yang merupakan pengarang kitab I’anatut Thalibin. 

Baru sekitar 5 tahun mengajar di Langgar Putih, pada tahun 1904 KH. Abdul Majid Jambi harus kembali ke Mekkah guna menghindari penangkapan penjajah Belanda. Sikap beliau yang anti kolonialisme dan aktifitas beliau sebagai guru serta sebagai penasehat Sulthan Thaha Syaifuddin membuat penjajah Belanda gerah.

Sebagai salah satu penasehat, KH. Abdul Majid Jambi pernah masuk dalam tim yang diutus Sultan Thaha Syaifudin ke Turki untuk meminta bantuan kepada kerajaan Turki Utsmani dalam menghadapi Belanda. Namun usaha itu gagal.

Selepas hijrahnya KH. Abdul Majid Jambi ke Mekkah, pengajian di Langgar Putih dilanjutkan puteranya yaitu KH. Ibrahim yang tidak lain adalah saudara laki-laki dari Hj. Zainab. KH. Ibrahim menjadi salah seorang pelopor berdirinya pondok pesantren Nurul Iman di Kelurahan Ulu Gedong pada tahun 1915 melalui organisasi Perukunan Tsamaratul Insan. Organisasi ini mirip Nahdhotul Ulama (NU) di tanah Jawa. Tsamaratul Insan juga mempelopori berdirinya tiga pesantren lain yaitu Pesantren Nurul Islam di Kelurahan Tanjung Pasir dan Pesantren Saadatuddaren di Kelurahan Tahtul Yaman serta Pesantren Al Jauharen di Kelurahan Tanjung Johor.
Pondok Pesantren Nurul Iman
 
Kembali ke Langgar Putih. Langgar ini  difungsikan lagi sebagai lembaga pendidikan pada tahun 1946 sd 1951 oleh KH. Abdul Qodir Ibrahim yg merupakan putera dari KH. Ibrahim Abdul Majid. Beliau sebelumnya juga mengajar di Pondok Pesantren Nurul Iman, namun karena ada perbedaan pendapat sehingga memilih kembali mengajar di Langgar Putih. Kemudian mendirikan PERGURUAN AS’AD yang diresmikan pada tanggal 26 Dzulqo’idah 1370 H bertepatan tanggal 29 Agustus 1951 M.

Perguruan As'ad
 
Benar kata Gus Baha, bahwa ummat tidak perlu ikut-ikutan berpihak ketika ulama berbeda pendapat. Karena selalu ada hikmah dibaliknya, yaitu semakin menyebarnya ajaran islam dengan berdirinya pesantren baru akibat perbedaan pendapat tersebut.

Sumber :
1. Penuturan Ibunda Hj. Saadah binti H. Ahmad Munhamir (menantu Hj. Zainab binti KH. Abdul Majid Jambi)
3. Siti Maria Ulfah dan Siti Asiah Wahyuni Hawasyi, 2020. "Perukunan Tsamaratul Insan dan Perannya Dalam Menghadapi Perubahan Sosial Budaya di Provinsi Jambi". Buletin Al-Turas Vol. 26 No.1 Januari 2020, pp 135-152.
3. https://harakah.id/melacak-keterlibatan-ulama-jambi-dalam-penulisan-kitab-ianatut-thalibin/

2 komentar: